Link Banner

Serunya Live In Program Madrasah Sayang Ibu di Gili Asahan

Desember yang sibuk. Pun belum akan mengurai usai. Kesibukan yang semakin menyenangkan, karena akhirnya terwujud pula profesi impian. Menjadi bagian dari keluarga besar Madrasah Alam Sayang Ibu (MSI atau SayIbu).

Athala and Jude, managing the coloring activities. Dokpri 

Satu sekolah yang memadukan impian dari passion-passion personal saya. Mencintai alam, sedalam mencintai kata-kata. Memberanikan diri melamar di akhir Nopember, semakin merasa beruntung, ketika dipercaya terlibat di satu program. 

Live In Program Madrasah Sayang Ibu 


MSI menerapkan Project Based Learning (PBL). Peserta didik secara bertahap dibimbing untuk mampu berpikir kritis (critical thinking), memecahkan masalah, mengembangkan kemampuan komunikasi, koordinasi, proaktif dan kreatif.

Salah satu ejawantah dari Sustainable Development Goals (SDGs), langsung dipraktekkan MSI. Lima belas orang siswa grade Aliyah, didampingi dua orang staf pengajar, tinggal selama seminggu di pulau kecil dan terpencil, Gili Asahan, Lombok Barat. Program ini dinamakan, Live In Programm. 

Di Live In Program kali ini melibatkan sekitar 11 rumah warga Gili Asahan.

Dua orang santri perempuan di satu rumah asuh, sementara untuk santri lelaki satu rumah satu orang. Mereka tinggal mulai Senin, 9 Desember kemarin, sampai dengan Sabtu 15 Desember 2019. 

Di samping aktivitas harian, para siswa juga mempraktekkan beragam keterampilan yang mereka miliki. Ismail, misalnya. Siswa yang hafal beberapa juz Al-Qur'an ini akan mengajar ngaji dan Bahasa Arab. Jude, panggilan akrab Juliani Hidayati, akan berbagi ilmu tentang Thibbun Nabawi, yaitu pengetahuan pengobatan a la Rasulullah SAW.

Chef Muhnan from Eco Lodge, join the cooking class. Dokpri 

Live In di Gili Asahan kali ini bertemakan 'Wrestling the SDGs in Remote Island'. Tidak sekadar menumpang tinggal, para siswa akan membantu langsung, sesuai pekerjaan utama dari pemilik rumah yang mereka tinggali. Tanpa disadari, mereka menerapkan semacam metode grounded dalam riset.

Jika pemilik rumah memiliki warung nasi, misalnya, maka para siswa akan membantu semua proses. Baik dari menyiapkan bahan-bahan masakan, membantu menjual, serta membereskan piranti masak warga tersebut.

Ibu Mainah, menjual nasi bungkus mulai siang sampai malam hari. Pembeli nasi bungkusnya, biasanya para warga lain Gili Asahan. Sesekali, pembeli dari para guide wisata yang membawa tamu.

My latest panorama pic at Gili Asahan sunrise spot. Dokpri 

"Ini program yang menarik. Biasanya, program-program lain berupa praktik mengajar di sekolah dasar di tempat ini, atau donasi lainnya," jelas Ibu Mainah.

Lain lagi kisah dari Ibu Sahuni. Ibu dua anak ini, menggembala tiga sapi milik orang lain.

"Nanti sore, dua anak yang tinggal bersama saya, saya ajak menggembala sapi. Sebagian besar ibu-ibu di sini, kerjanya memang menggembala," urai Ibu Sahuni.

Ibu Mainah dan Ibu Sahuni, dua dari belasan ibu Gili  Asahan yang berjibaku menjalani kehidupan pulau kecil yang jauh dari pusat keramaian. Berbagai aktivitas seringkali dilakukan mulai pagi, sore, sampai malam. Kedatangan 15 siswa MSI selama sepekan, memberikan warna baru dalam keseharian mereka, sepekan ke depan.

DR Immy Suci Rohyani, Creative Science Specialist MSI, menggunakan parameter SDGs sebagai panduan melakukan riset di Live In Program kali ini.

"Siswa MSI telah terbiasa melakukan riset dan mengolah data yang mereka kumpulkan. Ini pun juga bersamaan dengan aktivitas-aktivitas sosial dari anak-anak. Ke depan, mereka jadi memiliki banyak bekal, untuk bisa menjadi insan terdidik dengan kualitas terbaik. Bagi diri mereka sendiri, utamanya bagi orang lain selain mereka," jelas ibu dua anak ini.

Live In Program dan SDGs 


Bagi saya sendiri, membersamai 15 orang anak-anak tentu menjadi pengalaman berharga. Proses pembelajaran tak lagi tersekat ruang kelas. Kesan awal, kebersamaan di 30 jam pertama lebih seperti mendampingi kelompok periset.

15 point SDGs diekstrak ke point-point detail kuisioner. Nyatanya, proses pengumpulan data, sebagian besarnya telah mereka dapatkan di interaksi khas masyarakat pesisir.

Gili Asahan, desa nelayan yang juga telah akrab dengan kunjungan wisatawan. Saat matahari meninggi, berugak sederhana yang dibangun menggunakan dana desa, dipadati warga yang tengah rehat. Disinilah, kuisioner terkait pekerjaan warga, konsumsi harian, kesetaraan (gender), sanitasi, secara tak langsung didapatkan. 

Eksploring Gili Asahan Bersama 15 Siswa Aliyah MSI 


Live In Program Gili Asahan bukan kegiatan baru di MSI. Khususnya para siswa Aliyah. Mereka sudah terbiasa melakukan riset, tentu untuk skala mereka sebagai siswa sekolah menengah. setiap kegiatan lapanganbiasanya digabung dengan aksi riset tertentu.

Fettucini pasta as the cooking class menu. Dokpri 

Yummy pancake for some of SDN 4 Batu Putih - Gili Asahan students. Dokpri 

Ini juga pengalaman yang mereka dapatkan ketika mengikuti event Perkemahan Ilmiah Remaja Nusantara (PIRN), Juli 2019 lalu di Banyuwangi Jawa Timur. Danya, santri aliyah MSI misalnya, melakukan riset 'Cara Mengembangkan Ekonomi Kreatif Di Desa'. Riset ini menghasilkan saran-saran ekonomi kreatif, dari potensi desa yang memiliki Peternakan Kambing Etawa dan Perkebunan Kopi.

Pada Live In Gili Asahan kali ini, 15 point SDGs menjadi referensi. Setiap orang dari santri yang berjumlah 15 orang, mengumpulkan data khusus untuk menjawab referensi tersebut. Hasilnya diharapkan bisa menjadi rujukan lembaga atau dinas terkait, untuk dapat merumuskan regulasi yang sesuai, serta tepat untuk kebutuhan warga Gili Asahan.

Coloring, social activities with Gili Asahan kids. Dokpri 

Clock round: Salma, Rahma, Hilma and Royyan, the coloring judges. Dokpri 

Tak terasa, tinggal tiga hari tersisa. Pengalaman bersama 15 santri MSI, eksplorasi pesona Gili Asahan dengan cara berbeda (biasanya saya seringkali melakukan trip wisata), menjadi warna baru bagi saya. Banyak hal yang bisa tergali lebih dalam, dan dapat digunakan untuk mendatangkan kemanfaatan baik bagi warga Gili Asahan khususnya, maupun untuk pengembangan destinasi wisata pulau terluar di Lombok (baca: NTB), atau bahkan Indonesia. Semoga.

Related Posts

There is no other posts in this category.

10 comments

  1. wow, keren banget nih mbak acaranya. btw pancake itu kayaknya sukses bikin aku ngiler, apalagi dimakan di pinggir pantai, mantaaap

    ReplyDelete
  2. Keren banget ya projectnya mengasah soft skills anak-anak lewat project yang sudah diaiapkan..aduh itu sunrise viewnya keren banget bikin kangen min ke Lombok lagi

    ReplyDelete
  3. Ini anak2 diajari softskills masak makanan yg world selling able ya, Mba... Biar klo ada wisatawan asing mereka bisa masak western food

    ReplyDelete
  4. Bagus banget program ini yaa.. apakah ini program sekolah atau bukan? Dan apakah ada biaya khusus utk ikut program ini? Semoga sukses semua.

    ReplyDelete
  5. Wah keren banget ya mbak programnya. Selain ilmu agama juga dibekali dengan ilmu lainnya yang pastinya kelak akan berguna buat mereka.

    ReplyDelete
  6. Bagus sekali programnya, mbak. Anak-anak pasti punya pengalaman yang tak terlupakan. Sukses selalu ya.

    ReplyDelete
  7. Bagus banget nih aktivitas para santri MSI ini. Sedari muda sudah diajak untuk kritis dan langsung terjun ke masyarakat ya. Negara butuh nih anak-anak muda yang digembleng dengan cara seperti ini agar mudah memetakan masalah yang terjadi di masyarakat untuk kemudian dicarikan solusinya.

    ReplyDelete
  8. mbak, ini program keren banget! anak-anak gak selalu didorong untuk bersinar di bidang akademis, tapi perlu juga untuk mengembangkan berbagai soft skill yang pastinya berguna di masa depan nanti

    ReplyDelete
  9. MasyaAllah... Programnya keren banget, Bunsal. Ilmunya bener2 manfaat dengan program2 seperti ini ����

    ReplyDelete
  10. Eh apa ini cooking class menu? Nggak ada lunch class? *Eh gimana?

    Haha ngiler akutu.

    ReplyDelete

Post a Comment