Link Banner

Jejalek Negatif, Mari Diubah Jadi Doa Serba Baik

Kita yang terlahir muslim, salah satu pengetahuan mendasar yang cepat terhapalkan di luar kepala, adalah penamaan anak-anak yang diiringi doa serba baik. Pengetahuan yang terjaga turun temurun. Nama anak-anak kita seringkali menjadi kumpulan doa-doa, agar kelak mereka menjadi manusia dewasa yang juga serba baik.

Jantung Cintaku, Jejalek bagi si bungsu saya, di satu pagi di desa wisata Sugian. Dokpri

Faktanya, di masa kecil, kelekatan pengetahuan ini diuji. Umumnya anak-anak, banyak aturan – apalagi yang diyakini sebagai milik, buatan, atau yang ditetapkan orang tua, yang terasa seru jika dilanggar. Kalimat ‘Aturan itu dibuat ya untuk dilanggar’ sering menjadi celetukan. Tanda sah, bahwa melanggar aturan itu menyenangkan.

Jejalek Itu Apa?


Istilah ‘Jejalek’ baru saja saya dengar, baca dan pahami di seminggu terakhir. Beberapa teman masa kecil, tepatnya di masa sekolah SD, beruntung bisa berkumpul ulang. Tadinya, asyik sibuk dengan rutinitas kerja masing-masing, keluarga masing-masing. Lalu, sekitar sebulan lalu, sepakat berkumpul ulang. Tak banyak. Sekitar 40an orang.

Jejalek adalah nama julukan. Panggilan kecil. Jejalek digunakan di percakapan sehari-hari, pengguna Bahasa Sasak di sebagian wilayah kabupaten Lombok Timur. Sampai tulisan ini tayang, saya belum mengadakan riset khusus, apakah istilah ini juga digunakan di percakapan kesaharian di wilayah Lombok lainnya.

Untuk beberapa kasus, lebih sering kesan penamaan yang negatif. Salah satunya, Jejalek saya pribadi. Tadinya saya sungguh lupa, arti dari salah satu Jejalek masa kecil saya ini. Namun, salah seorang teman mengingatnya sebagai ‘nama penyakit’. Tak ayal, dheg, sebagian kecil hati saya kembali sakit.

Pagi yang lain di desa wisata Sugian, Lombok Timur. Aneh juga, alam yang serba indah, sangat jarang dipakai sebagai 'Jejalek'. Dokpri

Jejalek lebih sering disematkan tanpa memperdulikan kesepakatan si pemilik nama yang diberi julukan. Lebih sering sebagai kesepakatan bersama, di luar si pemilik nama asli. Setidaknya itu yang saya rasakan pribadi. Entah dengan orang lain.

Tentu saya tidak akan menuliskan Jejalek yang membuat hati saya perih tersebut. Di samping satu nama ini, nama-nama lain seperti Kelinci, Singa, Bunsal, tiga contoh Jejalek yang relatif masih bisa saya terima. Entah mengapa, justru yang nama penyakitlah yang lebih disukai. Tak peduli, berapa kali pun saya memprotes orang-orang untuk berhenti memanggil dengan nama tersebut.

Jejalek sebagai Panggilan Kesayangan


Di Jejalek yang membuat perih hati, ada pengecualian. Saya meyakini, ada beberapa yang memanggil menggunakan nama tersebut, bentuk lain dari rasa sayang mereka. Saya paham. Terima kasih atas rasa sayang kalian semua.

Jadi masalah, ketika beberapa yang lainnya, menggunakan nama tersebut dengan wajah penuh kemenangan, kemik bibir, dan tawa palsu merendahkan. Buat kamu yang begitu, tolong, panggil saya dengan nama asli. Persis seperti nama domain blog ini.

Selebihnya, ketika akhirnya tulisan curcol — curhat colongan, ini sungguh tayang, saya akan mencoba percaya. Bahwa, siapapun yang kemudian mengulang memanggil nama saya dengan ‘alias nama penyakit’ ini, sungguh benar menyayangi saya.

Jejalek Positif Untuk Panggilan Kesayangan Pada Anak-Anak


Benar, hidup tanpa konflik, hanya ada di surga. Namun, kita juga diberikan rezeki akal, iman serta pengetahuan untuk sebisa mungkin menghindari, mencegah, menjauhi konflik. Jika pun terjadi, dengan bekal dasar yang sama, kita juga berkesempatan memecahkan, mengurai, menyelesaikan konflik dengan cara sebaik-baiknya.

Dasar diataslah yang membuat saya kemudian mencoba memberikan ‘Jejalek’ yang baik pada anak-anak. Saya enggan mengulang, memiliki Jejalek yang maksud awalnya sebagai bentuk sayang, namun melebar menjadi panggilan alias yang berkesan negatif. Cinta dan kasih sayang terdekat, ada di rumah, di keluarga inti, di ayah dan ibu. Si sulung menjadi ‘My Heart’ dan si bungsu menjadi ‘Jantung Cintaku’. Begitulah Jejalek mereka. Sejak lahir, semoga selamanya sampai mereka kembali pulang ke Allah SWT.

Jejalek yang saya ulang, di tulisan-tulisan, di cerita-cerita ke siapapun, di setiap obrolan menjelang tidur. Pillow talk. Ikhtiar pembatal kisah masa kecil saya, mendapatkan Jejalek yang alih-alih merasa disayangi, namun menyakitkan hati. Lebih terasa sakit lagi, ketika berulang kali protes, tak ada yang peduli. Manalagi mau berhenti.

Dulu, saat masih menetap di Semarang, saya terkesima dengan kasih sayang yang menebar di satu pasar kecil di sudut selatan ibukota Jawa Tengah ini. Pembeli dan pedagang berinteraksi dengan saling memanggil ‘sayang’. Tak peduli kenal atau tidak. Kondisi yang membuat saya berpikir, jika di pasar saja bisa berkasih-sayang, dibalut perniagaan yang umum, hal apa yang membuat kita sulit menciptakan kehangatan yang sama di dalam keluarga kecil kita sendiri?

Jadi, mari, berhenti di kita, membuat Jejalek berkesan negatif. Tanamkan kuat ke anak-anak, bahwa Jejalek sejatinya untuk mengabadikan kasih sayang. Doa serba baik. Doa kebaikan agar saat menjadi dewasa nanti, mereka teguh pula pada kebaikan-kebaikan.

'Jantung Cintaku' si sulung, ngekonten bareng, masih di desa wisata Sugian. Dokpri

Jika misal kita tak bisa mengontrol mereka yang membuat Jejalek berkesan negatif, setidaknya hentikan memanggil Jejalek yang sama saat sudah dewasa. Masih sangat banyak hal yang bisa kita jadikan lelucon. Ketika ada Jejalek yang menyakiti salah seorang teman kita, hal apa yang membuat kita begitu susah berhenti?

Kecuali, ketika kamu juga ikhlas, lapang hati, tertawa lucu, saat namamu yang didoakan begitu penuh kebaikan oleh orangtua, dialih-namakan menjadi ‘nama penyakit’, silakan, mulailah mengenalkan diri, memanggil dirimu sendiri, sebagai si ‘nama penyakit’ tersebut. Yang jelas, saya akan tetap memanggil dengan nama aslimu. Nama yang diberikan orang tuamu, ayah dan ibumu. InshaAllah, aamiin.
Bunsal
Hi, you can call me Bunsal, despite of my full name at my main blog domain. A mom blogger based on Lombok, Indonesia. I do blogging since 2005 and lately using my new email and the domain, start on 2014.

Related Posts

9 comments

  1. Oh, jejalek ini panggilan ya?
    Iya sih kadang masih ada aja orang yang manggil kita pake panggilan yang negatif. Dalih mereka bercanda atau nostalgia tapi kitanya nggak suka dan sakit hati.
    Bingunh juga ya, mau negur ntar dibilang baperan 😅 jadinya dibiarin aja. Yang penting kitanya nggak gitu hehe

    ReplyDelete
  2. di Jatim juga ada kayak gitu Kak, istilahnya wadanan seingatku. Sedihnya panggilan itu melekat sampai tua jadi banyak yg malah lupa sama nama aslinya. Ada yg dipanggil 'panjul', 'pengkor' dll karena dia punya kelemahan di bagian tubuh tertentu.

    Aku berusaha manggil Saladin anakku dengan panggilan yg bagus, anak sayang, dll.

    ReplyDelete
  3. Baru tahu soal jejalek, tapi memang kalau dapat panggilan yang menyakitkan itu terbawa sampai gede. Ada yang sakit hati atau tertawa mengingat jejaleknya jaman dulu

    ReplyDelete
  4. Kok sedih ya baca tulisan tentang jejalek ini. Alhamdulillah saya ngga punya jejalek sih, cuma tahu aja pengalaman teman-teman yang punya jejalek, akhirnya nama asli tersingkirkan dan seterusnya dipanggil jejaleknya padahal kadang aneh-aneh hiks..

    ReplyDelete
  5. Ni kaya suamiku mbak sejak kecil dia ada panggilan gitu udh nempel bgt. Pas kuliah di Jawa seneng dong ga ada yg manggil2 nama jelek eh ternyata ada kawan dia jaman sekolah dlu dan berlanjutlah nama julukan itu sampe skr. Suamiku biasa aja sih tp akunya yg suka kesel hahhha

    ReplyDelete
  6. Aahh, aku paham konteksnya mbak, panggilan yang dulu selalu dikonotasikan hal negatif ya. Sedih sih kalau yang orang ingat terkait panggilan negatif kita
    Aku pun juga punya kenangan mirip jejalek ini sama teman-teman mengaji mbak. Masih teringat jelas momennya
    Betul, kita gak bisa menghentikan orang lain memberikan julukan pada kita. Tapi kita bisa menghentikan agar hal tersebut tidak terjadi pada orang lain

    ReplyDelete
  7. Wah aku baru tahu kalau jajalek itu artinya nama panggilan
    Aku punya jajalek di SMA dan itu tetap ada sampai sekarang
    Untungnya sih jajalek ku bagus, hehe
    G risih klo dipanggil orang

    ReplyDelete
  8. Betul banget ini..
    Kita kudu memberikan jejalek yang baik pada anak-anak kita agar mereka memiliki cap yang baik-baik terhadap dirinya, meskipun di luar mungkin teman-temannya memerikan jejalek yang buruk, semoga terbangun kepercayaan diri yang kuat karena mendapat kasih sayang dari dalam rumah.

    Jejalek ini bahkan bisa jadi "branding" yang akan selalu nempel hingga ia tua nanti yaa..

    ReplyDelete
  9. jejalek ini macam julukan ya, Mbak? Aku ingat betul pernah mendapat jejalek yang buruk saat masa kecil dan memang perih, mbak. Setuju banget nama adalah doa, maka memanggil dengan jejalek yang baik adalah bentuk doa yang bisa kita lakukan pada orang-orang di sekitar kita.

    ReplyDelete

Post a Comment