Link Banner

Phobia Is Okay, Sembuh Phobia Is Better

Begitulah rasanya kalimat yang tepat, dari keberhasilan mengawal Tiwi. Tiwi, seorang pekerja keras yang kebetulan sedang dinas di Lombok. Di Jumat 18 Nopember, minta ditemani eksplor Lombok, tapi motoran. Belakangan, Tiwi menyetujui itinerary yang saya susunkan kurang dari 10 menit. Trip motoran sehari, dengan target utama snorkeling di Gili Trawangan.

Salah satu sudut Gili Trawangan. Edit maksa, karena mendung seharian, tone foto jadi serba dove. Dokpri

Wefie bareng Tiwi, sesaat sebelum asyik snorkeling. Dokpri

Alhamdulillah. target yang tercapai. Meski basah oleh gerimis sejak berangkat dari salah satu hotel di pusat kota Mataram, semua itinerary kami lakukan. Sedikit ekstra, ngemil Sate Ikan Tanjung. Kuliner wajib coba untuk siapapun yang berwisata ke Lombok. Sate ikan hangat, baru saja diangkat dari lapak pembakarnya yang sederhana, di kota Tanjung, ibukota kabupaten Lombok Utara.

Phobia Turunan Tajam

Nah iya. Seperti judul, saya sedang ingin membahas phobia. Alhamdulillahnya, bukan di anak-anak saya. Tapi terjadi pada saya pribadi. Tidak separah phobia ulat hijau, yang butuh sekian puluh tahun sampai saya berhasil tidak menjerit, ketika melihat geliat ulat di sayuran serba hijau. Bahkan jika itu seramping ulat daun sawi. Yang ini, phobia turunan tajam. 

Pantai yang tenang, ada yang asyik main Paddle board. Dokpri

Spot snorkeling public di samping Good Heart resort ini. Sekalian deh sewa jaket pelampung dan sepeda di sini. Eh, makan siang juga. Dokpri
Makan siang kami berdua. Saya vegan capcay dengan nasi, Tiwi Ayam Taliwang dengan kentang. Dokpri

Ayam Taliwang dengan special note 'Tidak Pedas', salah satu menu di Good Heart Resort. Dokpri

Saya alami mulai sekitar tahun 2018. Sumbernya di salah satu turunan paling tajam di desa wisata Sembalun, Lombok Timur. Persis di bawah puncak tertinggi Pusuk Pass, yang mengarah masuk ke desa. Waktu itu, kesalahan terbesar memang di saya. Bonceng bertiga dengan anak-anak, motor yang saya bawa tidak sehat. Salah satu remnya tidak berfungsi. 

Ketika saya menyadari, cengkeraman rem di dua stang motor terasa loss, saya mulai gemetaran dan menuruni jalan dibantu sepasang kaki. Sadar turunan tajam baru mulai, kendali emosi saya mulai runtuh. Motor saya tuntun ke pinggir dan mulai panik menghubungi teman untuk menjemput. Syukurlah. Warga desa Sembalun yang kebetulan sedang melintas, menghampiri, dikira motor saya mogok total. Saya sampaikan ketakutan saya, beliau akhirnya menolong mengantarkan sampai ke area datar dan akhirnya motor kembali saya bawa sendiri.

Sejak itu, setiap turunan yang mengingatkan momen di Sembalun ini, perut saya akan mulas mendadak, berkeringat dingin dan jadi super duper ekstra hati-hati. Lalu, trip motor berdua Tiwi, mampukah saya mengatasi phobia?

Tekad Selamat, Berhasil Atasi Kekalutan Phobia

Chit chat sekitar seminggu sebelum trip motor bareng Tiwi, saya sudah mengkalkulasi sendiri jalur menuju dan kembali dari Gili Trawangan. Dua jalur utamanya, melewati kawasan pantai wisata Senggigi atau Pusuk Pass Senaru, keduanya memiliki jalur tanjakan turunan zig zag yang mirip. Hasil merenung lama, ditambah pertimbangan profesionalitas karena sudah mengiyakan order tamu wisata, saya mantap memilih jalur wisata Senggigi. Meski ada turunan tajam, pandangan laut serba biru dan selang seling area datar yang lapang serta relatif lebih sepi, meyakinkan saya akan mampu melewati semua turunan tanpa meminta Tiwi menggantikan. Iya. Tiwi siap membantu, jika saya memang gagal tabah di setiap turunan.

Mampir ulang ke Wah Resort. Sedikit rendezvous pas saya staycation di tahun 2019 dulu. Dokpri

Tiwi juga sedang asyik ambil footage. Masih area depan dari Wah Resort. Dokpri

Alhamdulillah yang banyak. Berangkat jam 6 pagi teng dari kota saya di Selong, ibukota kabupaten Lombok Timur, ternyata saya masih harus kehujanan lagi. Rasa ingin segera sampai di Gili Trawangan, berhasil mengatasi kekalutan jalan yang basah karena gerimis statis. Jalan baru benar-benar kering, sekitar 20 menit dari pelabuhan Bangsal, pelabuhan penyeberangan menuju tiga gili terkenal Lombok. 

Di samping Trawangan, ada Meno dan Air. Dua penyebutan yang terkenal untuk tiga gili ini, ada Tramena dan Matra. Sama saja. Dua singkatan ini ya nama lain dari Trawangan, Meno dan Air.

Sembuh Phobia, Siap Ekpslor Lebih Jauh, Lebih Lama

Saya sudah ceritakan phobia-phobia yang saya miliki ke anak-anak, di banyak momen ketika kami sedang mengobrol bersama. Beberapa yang cukup merepotkan, phobia ulat hijau, cacing, kecoak dan yang terakhir seperti di tulisan ini, turunan tajam. Putri saya sempat juga alami momen menjerit-jerit saat melihat kecoak. Namun, semoga jangan sampai se'parah' saya. Selain menjerit, ya itu tadi, gemetar, berkeringat dingin, kadang sesekali badan sampai terasa membeku.

Phobia cacing lebih parah. Segala bayangan yang menyerupai cacing, membuat saya menjerit-jerit, melompat menghindar, padahal ternyata hanya ranting kayu lapuk. Etapi, phobia cacing tanah dan ulat hijau, benar sudah agak membaik. Hanya saja, saya belum mampu memegang langsung. Kesanggupan menyingkirkan, misal dengan mengambilnya di ujung pisau atau kayu, sudah prestasi istimewa bagi saya.

Kisah-kisah phobia ke anak-anak, selalu saya tutup dengan pesan kepada mereka, bahwa;

Pertama, phobia adalah emosi yang wajar pada manusia. Namun, jadi tidak wajar jika sudah menganggu rutinitas harian. Apalagi ketika kita sudah bekerja. Jika penyembuhan pribadi masih sulit, mencari pertolongan pada dokter spesialis atau ahli yang sesuai, tentu sangat dibutuhkan.

Kedua, keteguhan emosi agar tak mudah phobia, bisa dipelajari dan dibentuk. Sebagian caranya, ya harus benar-benar berniat untuk sembuh. Jujur pada emosi diri sendiri. Tidak malu mengungkapkan ketakutan. Kalau malu, bukannya lebih bahaya kalau kita malah merepotkan banyak orang, karena mendadak pingsan, salah satu efek serius dari phobia.

Wajib mampir ke Chili House. Ada Uja, teman mainnya Yusuf putra saya - cowok kecil paling tinggi di foto. Dokpri

Awal Oktober lalu, tiket public boat masih 20K idr. Harga baru, jadi 23K idr. Dokpri

Ketiga, tak sekadar sembuh, pemahaman tentang objek pencetus phobia juga sebaiknya dipelajari. Masih dari trip wisata motoran saya yang lainnya, trik menuruni turunan tajam adalah seimbang mengontrol laju motor serta tidak terus menerus menekan kontrol rem. Dua trik ini mulai saya hapalkan luar kepala, dan fokus untuk mengendalikan kontrol rasa khawatir saya pribadi. Pastinya juga mengikuti setiap rambu jalan, sehingga kita selamat, pengguna jalan yang lainnya pun sama.

Kembali alhamdulillah. Semoga, seterusnya, saya bisa menua dengan sehat dan tanpa satu pun phobia tersisa. Doa baik yang sama untuk anak-anak dan keluarga saya, juga semua pembaca yang mungkin mampir di tulisan ini. Aamiin.

Bunsal
Hi, you can call me Bunsal, despite of my full name at my main blog domain. A mom blogger based on Lombok, Indonesia. I do blogging since 2005 and lately using my new email and the domain, start on 2014.

Related Posts

16 comments

  1. Memang ada beragam phobia ini ya.. Salah satunya yg pernah kualami adalah phobia di keramaian. Itu yg menyebabkanku enggan ke pasar/mall/tempat2 berkumpul org banyak. Bisa langsung pusing, mual hingga (maaf) muntah dan metasa hampir pingsan. Itu pula yg menyebabkan ku takut saat akan berhaji dulu.. Namun alhamdulillah debgan pertolongan Allah SWT aku berhasil mengendalikan rasa takutku itu selama proses haji, bahkan hingga saat ini, sudah jarang 'kambuh' lagi. Sungguh suatu hal yg kusyukuri..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga ya iya mbak, tp gak jadi phobia sih. Biasanya bawa buku buat ngeredam efek gak nyamannya. Makanya jarang ngekonten di mall, gampang kehabisan energi ketemu banyak orang asing. Pastrad juga si. Jadinya kalau mau beli apa-apa, ya cap cuss dan langsung keluar kalo sdh dapat barangnya.

      Delete
  2. Phobia ketinggian juga gak mba? Biasanya sih yang kayak gini belajar banyak-banyak mengatur pernapasan ya. Hihihi. Berarti mba juga gak suka naik wahana-wahana yang ketinggian kah? Alhamdulillah makin baik ya mba memanajemen emosi dan kekhawatiran berlebihnya soal turunan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau ketinggian gak terlalu, secara hobi manjat pohon dari jaman masih SD :D
      Bener, kebiasaan bernafas yang baik, sangat membantu mengatasi efek dari phobia-phobia

      Delete
  3. Membaca postingan ini jadi kangen sama lombok. Dulu saya juga punya phobia sama buah pisang, jadi setiap kali mencium aroma dan makanan rasa pisang. Say udaj eneg duluan. Perlahan sekarang saya sudah bisa makan pisang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yuk mbak, main ulang ke Lombok ^^
      Iya, bisa sembuh dengan menghadapi objek yang ditakuti sedikit demi sedikit

      Delete
  4. Kalo molly sendiri phobia ketinggian. Entah kenapa bawaannya lutut langsung lemes liat ke bawah pingin terjun ngeliat kalo jatuh sakit atau nggak. Parno aja gitu kalo di lift kaca gitu tambah takut gak berani liat ke bawah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah-mudahan segera berkurang ya mbak. Biar nanti ngetrip kemanapun jadi lebih enjoy. Manalagi kalo mbak Molly ada rezeki ngetrip ke Korsel. Aamiin

      Delete
  5. Iya. Dulu, aku juga pernah jatoh pas menuruni tanjakan. Emang bikin ngeri sih. Tapi, beruntungnya nggak sampai yang membuatku phobia. Cuma ya itu tadi. Kita harus lebih waspada dan hati-hati saat berkendara di tanjakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Innalilahi.
      Bagaimanapun, mbak Yuni keren. Meski sampai jatuh, tapi tidak sampai kapok pas di turunan.

      Delete
  6. Syukurlah sekarang phobianya mulai membaik yaa Mba.. Pastinya melawan ketakutan itu sulitt tapi jika kita hadapi dan jalani dengan melewati proses yg panjang juga semua akan berkurang dgn sendirinya. Ahh jadi mau juga ke pantai Gili Trawangan ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah mbak Ulfah.
      Pengen banget segera sembuh total. Kapan hari, cuma liat berita ada titik longsor di tanjakan Sembalun yg bikin phobia, eh, masih mulas perut dong :D Padahal mbacanya sambil rebahan di kamar

      Delete
  7. Aku bukan phobia sih..tapi lebih tepatnya menghindari.
    Tapi ternyata ketika memiliki pasangan atau anak-anak yang lebih berani, ternyata kita bisa melepaskan ketakutan itu semua ya..

    Tapi memang prosesnya gak bisa dipaksa sih..
    Kaya orang alergi aja gitu ya.. Hanya perlu porsinya ditambah sedikit demi sedikit agar merasa terbiasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget mbak Lendy. Tekad sembuh ya demi anak-anak. Biar mereka lebih merdeka dan memungkinkan buat main lebih jauh lagi dibanding emaknya.

      Delete
  8. Ini kayak mirip kalau lagi berada di ketinggian lalu liat kebawah gak sih hhe, kadang suka teriak sendiri. Tapi seiring berjalannya waktu dan terbiasa dengan hal itu akhirnya bisa hilang juga ya, walaupun mungkin belum benar-benar 100%. Tapi syukurlah bisa traveling lebih jauh, dan mengurangi rasa takut itu hhi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu banget pas masih kecil, iya mas, mirip rasa gamang begini pas di ketinggian.
      Tapi, pas ngepuncak ke gunung Rinjani dan dapat rezeki pemandangan sebagus saat itu, malah jadi berhenti total dan malah pengen eksplor banyak puncak-puncak lainnya lagi

      Delete

Post a Comment